Thursday 6 October 2011

Sejarah Munculnya Dwifungsi ABRI

14:21

Urain tentang perkembangan fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial politik tidak dapat dilepaskan dari sejarah lahir dan tumbuhnya ABRI dalam perjuangan bangsa Indonesia. ABRI lahir bersama-sama dengan meletusnya rovolusi rakyat, ia lahir dari anak-anak rakyat sendiri. ABRI adalah angkatan bersenjata yang lahir dan tumbuh dengan kesadaran untuk melahirkan kemerdekaan. ABRI pertama-tama adalah angkatan bersenjata perjuangan dan baru setelah itu adalah angkatan bersenjata profesional. Setiap prajurit ABRI pertama-tama adalah pejuang prajurit dan baru kemudian adalah prajurit pejuang. Kelahiran dan pertumbuhan ABRI yang demikian itu membuat ABRI juga berhak dan merasa wajib ikut menentukan haluan negara dan jalannya pemerintahan. Inilah sebab pokok mengapa ABRI memiliki dua fungsi, yakni sebagai kekuatan militer (pertahanan dan keamanan) yang merupakan alat negara, dan sebagai kekuatan sosial politik yang merupakan alat perjuangan rakyat.

Untuk dapat memahami fungsi sosial politik ABRI dalam konteks kehidupan politik dan ketatanegaraan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka akan diuraikan perkembangan fungsi sosial politik ABRI khususnya dalam kerangka perkembangan kehidupan politik dan kenegaraan bangsa Indonesia, sejak Perang kemerdekaan (1945-1949), zaman demokrasi Liberal (1949-1959), masa demokarasi Terpimpin (1959-1966), masa orde baru (1966-perkembangannya)
Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949): Terbentuknya Pejuang Prajurit dan Prajurit Perang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, tidak segera dibentuk tentara kebangsaan. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri hanya memuat dua pasal mengenai Angkatan Perang dan pembelaan negara, yaitu pasal 10 yang menetapkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, pasal 30 yang menentukan bahwa tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara yang syarat-syaratnya diatur undang-undang. Tidak mengherankan perkembangan tentara Indonesia dalam negara Republik Indonesia lebih banyak ditentukan oleh dinamika jalannya revolusi perjuangan bangsa daripada oleh ketentuan Undang-Undang Dasar.1
Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ke-2 tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan antara lain untuk membentuk tentara, tetapi keputusan ini kemudian diubah dalam sidang PPKI ke-3 tanggal 22 Agutus 1945. Dalam sidang ini diputuskan untuk membentuk Badan Kea2manan Rakyat (BKR) saja, sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban perang (BPKKP). Penggunaan nama tentara dihindari untuk menunjukan politik dami republik Indonesia terhadap pihak sekutu yang menang perang. BKR bertugas untuk memlihara keamanan dan ketertiban di daerah-daerah. BKR mempersenjatai, melengkapi, dan membekali diri sendiri; disusun secara kedaerahan (teritorial administratif) dan sedikit banyak dikendalikan oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) di daerah. Pimpinan BKR yang duduj di KNI ikut memecahkan masalah-masalah yang timbul di bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Di samping BKR tumbuh pula pasukan-pasukan bersenjata (badan/laskar perjuangan) yang terdiri dari pemuda-pemuda dengan bermacam orentasi politik yang tidak puas dengan hanya dibentuk BKR. Mereka menghendaki suatu tentara kebangsaan.3
Baru pada tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang menyatakan bahwa “untuk memperkuat peranan keamanan umum, maka diadakan suatu Tentara Keamanan Rakyat” (TKR). Bekas Mayor KNIL Urip Sumoharjo disertai tugas untuk membentuknya dan Letnan Jendral Urip Sumoharjo berhasil mendirikan Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta. Konferensi pertama antara para komandan Divisi dan Resimen TKR diadakan di Yogyakarta pada tanggal 12 November 1945 dan dipimpin oleh Letjen Urip Sumoharjo. Dalam pertemuan ini antara lain diadakan pemilihan Panglima Besar dan Menteri keamanan Rakyat. Terpilihlah kolonel Sudirman sebagai Panglima Besar dan baru disahkan pada tanggal 18 Desember 1945, sedangkan usul Sultan Hamengku Buwono IX sebagai menteri Keamanan Rakyat tidak dapat diterima oleh Pemerintah. Walaupun telah terbentuk satu tentara dengan nama TKR, namun barisan/pasukan pemuda bersenjata (badan/Laskar Pemuda) tetap diperbolehkan berdiri, tanpa diperintah untuk melebur di TKR. Adanya dualisme kekuatan bersenjata ini ternyata menimbulkan banyak kesulitan di kemudian hari.
Keterlibatan pimpinan tentara dalam sosial politik disebabkan adanya perbedaan pandangan tentang strategi perjuangan menghadapi kaum penjajah. Pemerintah yang dipimpin oleh kaum politik tua lebih menitikberatkan pada perjuangan diplomasi, sedangkan pimpinan tentara yang tergolong kaum muda lebih menitikberatkan pada perjuangan dengan menggunakan kekuatan senjata.4 Perbedaan persepsi tentang strategi ini sering menimbulkan dialog dan silang pendapat antara pemerintah dan pimpinan tentara yang mewarnai hubungan yang kurang serasi antara pemerintah dan pimpinan tentara sampai menjelang diakuinya kemerdekaan Republik Indonesia oleh pihak Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Pada tanggal 1 Januari 1946 nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, yang dapat diartikan memperluas dan memperdalam tugas tentara dari keamanan menjadi keselamatan dalam arti yang lebih luas.5 Kementrian Keamanan Rakyat diubah pula menjadi Kementrian Pertahanan. Karena konteks politik berubah menjadi sistem pemerintahan yang bertanggungjawab kepada parlemen dengan banyak partai. Maka Mentri Pertahanan Amir Syarifudin berusaha sekerasnya untuk mendudukkan TKR dalam posisi sebagai alat negara dibawah kendali pemerintah sesuai dengan faham supermasi sipil. Usaha Menteri Pertahanan tersebut tidak realistik dilihat dari situasi dan kondisi pada waktu itu serta mengingat proses lahir dan tumbuhnya TKR yang menganggap dirinya sebagai alat perjuangan rakyat dan bukanya sebagai alat negara belaka di bawah kendali pemerinta. Ketidaksesuaian jalan fikiran antara Pemerintah/kabinet dan kalangan Markas Tertinggi TKR tersebut juga menjadi sumber ketegangan politik dalam perkembangan selanjutnya.
Dalam usaha untuk menjadikan TKR sebagai alat Negara Republik Indonesia yang patuh kepada pemerintah, maka pada tanggal 25 Januarai 1946 dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah yang merubah nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Ditetapkan bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer di negara Republik Indonesia dan akan disusun atas dasar militer Internasional.
Sudah sejak awal pembentukannya, kabinet syahrir mengalami oposisi yang gencar dari Persatuan Perjuangan di bawah pimpinan Tan Malaka. TRI dengan penuh minat mengikutu kegiatan-kegiatan politik dan kadang-kadang dengan terbuka menyatakan pro-kontranya. Oposisinya berkembang disertai dengan kerusuhan dan berakhibat penagkapan terhadap pimpinan Persatuan Perjuangan. Panglima Sudirman yang semula bersikap netral terhadap krisis-krisis tersebut akhirnya atas desakan Presiden Soekarno menyatakan sikapnya mendukung Pemerintah serta bertindak terhadap Persatuan Perjuangan, setelah peristiwa 3 Juli 1946 dapat diatasi.6
Adanya dua macam tentara, yaitu TRI sebagai tentara resmi di bawah Panglima Besar dan brigade-brigade kelaskaran di bawah Biro Perjuangan sangat merugikan perjuangan bangsa menghadapi ancaman Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 5 Mei 1947 dikeluarkan dekrit oleh Presiden/Panglima Tertinggi yang menentukan agar dalam waktu sesing7katnya mempersatukan TRI dan laskar-laskar menjadi satu tentara. Mulai tanggal 3 Juni 1947 disahkan secara resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). 8
Sementara itu strategi diplomasi yang dilancarkan oleh kabinet Syahrir telah menghasilkan ditandatanganinya Persetujuan Linggarjati pada tanggal 23 Maret 1947. Dilancarkanya Agresi Militer I oleh pihak Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 dan gencatan senjata diadakan pada tanggal 5 Agustus 1947 maka TNI harus ditarik mundur di belakang garis Van Mook yang ditetapkan oleh pihak Belanda dan sangat merugikan pihak republik karena harus mengorbankan daerah-daerah strategis. Pada awal desember 1947 dimulai lagi perundingan dengan pihak Belanda oleh Kabinet Amir Syarifuddin yang sejak 3 Juli 1947 menggantikan kabinet Syahrir III. Perundingan itu menghasilkan persetujuan Renville, yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Pada tanggal 23 Januari 1948 Kabinet Amir Syarifuddin meletakkan jabatan karena hebatnya reaksi yang timbul di kalangan partai-partai politik dan lebih-lebih dari pihak tentara. Kabinet Amir Syarifuddin digantikan oleh kabinet Presidensial Mohammad Hatta mulai 29 Januari 1948.
Pelaksanaan program reorganisasi-rasionalisasi oleh kabinet Presidensial Mohammad Hatta ini meninbulkan pro dan kontra terutama dari dalam Angkatan Perang sendiri. Oposisi dengan tema; anti Renville dan anti Re-Ra dipimpin oleh mantan PM. Amir Syarifuddin, ia membentuk “Front Demokrasi Rakyat” (FDR) pada tanggal 26 februari 1948 yang terdiri dari golongan sayap kiri. Dengan meleburnya Partai Buruh dan Partai Sosialis ke dalam PKI, maka sejak September pimpinan FDR dikuasai oleh PKI dengan Muso sebagai ketuanya. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan Tentara tidak dapat dihindari dan mencapai puncaknya dengan pecahnya pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 19 September 1948. Pemberontakan dapat ditumpas dalam waktu yang tidak lama.9
Dalam pemulihan keamanan, TNI di samping melaksanakan fungsi Hankam, juga melaksanakan fungsi sosial-politik. Mereka harus mampu memutar roda pemerintahan dan ekonomi serta memulihkan kembali kehidupan masyarakat, disamping melanjutkan tugas keamanan. Tetapi ternyata belum sampai sebulan sejak berakhirnya operasi penumpasan kekuatan FDR/PKI, pihak Belanda melancarkan agresi militernya yang ke-2 dengan menyerang dan menduduki ibukota RI Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948.
Pesiden Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta beserta beberapa Mentri ditahan Belanda. Sebelum itu telah diberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syarifudin Prawiranegara untuk memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Panglima Besar Sudirman meneruskan perjuangan bersenjata dengan semboyan berjuang terus “met of zonder Pemerintah”. Kolonel A.H. Nasution selaku Panglima Komando Jawa menyatakan berlakunya Pemerintahan Militer untuk seluruh jawa dengan tujuan untuk menyelamatkan Republik Indonesia, dengan susunan pemerintahannya sebagai berikut; (a) Panglima Besar Angkatan Perang (PBAP) sebagai pimpinan tertinggi, (b) Panglima Tentara dan Teritorial Jawa (PTTD) untuk pimpinan di Jawa dan Madura, (c) Gubernur Militer (GM) untuk provinsi, (d) Komando Militer Daerah (KMD) untuk karesidenan, (e) Komandan Distik Militer (KDM) untuk Kabupaten, (f) Komandan Onder Distrik Militer (KODM) untuk kecamatan. Tugas pokok tiap eselon ialah menyelenggarakan dan menghidupkan kembali seluruh aspek pemerintahan yang meliputi bidang-bidang: pemerintahan umum, ekonomi, kemasyarakatan, pertahanan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa selama mengobarkan perang gerilya itu TNI tidak hanya melaksanakan fungsi militer, melainkan juga melaksanakan fungsi sosial politik, dengan menugaskan pula personil militer pada bidang-bidang non militer.
Atas desakan PBB akhirnya RI dan Belanda dapat dipertemukan di meka perundingan, dan pada tanggal 7 Mei 1949 tercapailah Persetujuan Rum-Royen. Persetujuan Rum-Royen yang dihasilkan oleh kaum politisi dan pemerintah, oleh kalangan militer dirasakan tidak sesuai dengan pandangan militer, karena justru pada dewasa itu tentara telah selesai dengan tingkat konsolidasi pasukan dan pemerintahan gerilya, sehingga perjuangan dapat meningkat pada tahap taktis offensif untuk menghancurkan bagian-bagian musuh yang lemah.
PDRI yang memegang kekuasaan negara yang sah dan mendapatkan dukungan dari TNI semula tidak mau menerima persetujuan Rum-Royen, tetapi akhirnya dengan berat hati dapat menerima setelah diadakan kontrak dan pembicaraan antara Bangka-Jakarta dengan PDRI dan TNI. Pada tanggal 6 Juli 1949 Soekarno-Hatta serta pimpinan lainnya dikembalikan ke Yogyakarta. Satu minggu kemudian Mr. Syarifuddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya selaku Presiden kepada Soekarno. Pada tanggal 1 Agustus 1949 dicapai persetujuan “cease fire” antara RI-Belanda.
Konperensi Meja Bundar diselenggarakan tanggal 23 Agustus sampai dengan tanggal 2 November di Den Haag, dan dicapai persetujuan bahwa kerajaan Belanda akan menyerahkan kedaulatan atas seluruh wilayah Hindia Belanda (kecuali Irian Barat) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949.
Selama perjuangan kemerdekaan dengan perang rakyatnya, TNI mengalami proses penggodokan. Hal ini yang telah mendewasakannya, tidak hanya sebagai kekuatan militer dalam tugas pertahanan-keamanan, tetapi juga sebagai kekuatan sosial politik dalam mengani masalah-masalah politik, ekonomi, sosial budaya, dan pemerintahan dalam masyarakat yang sedang berjuang. Ini merupakan modal yang sangat besar. Namun perlu disadari bahwa suatu angatan perang yang lahir dalam masa revolusi kemerdekaan sering menjadi sumber instabilitas dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.10 Masalah inilah yang harus diperhatikan dalam membangun TNI di masa damai setelah tercapai pengakuan kedaulatan
Masa Demokrasi Liberal (1949-1959): Peranan politik ABRI dari kelompok kepentingan menjadi Golongan Karya ABRI.
Setelah pengakuan kedaulatan berlaku Konstitusi Repiblik Indonesia Serikat (RIS) dan setelah RIS menjadi negara kesatuan kembali, maka yang berlaku ialah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Sementara (UUDS). Kedua UUD tersebut menganut faham demokrasi liberal dengan faham supermasi sipil dan sistem banyak partai. Tempat dan peran Angkatan Perang ialah di bawah kendali sipil dan tidak dibenarkan berpolitik.
Bagi Angkatan Perang pembangunan tersebut berarti mentansformasikan tentara revolusi menjadi tentara profesional dengan tetap memelihara sifat kejuangan prajurit pejuang. TNI juga masih terlibat dalam oprasi-oprasi melawan DT/TII dan juga menghadapi Republik Maluku Selatan (RMS). Dalam keadaan itu lahir Sapta Marga (5 Oktober 1951). Sapta Marga tidak hanya merupakan kode etik prajurit Indonesia, tetapi juga penegasan bahwa TNI akan tetap menegakkan negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila.
Masalah-masalah intern Angkatan Perang, dalam hal ini Angkatan Darat dianggap sebagai campur tangan parlemen terhadap masalah intern Angkatan Perang. Pimpinan Angkatan Darat disertai serombongan perwira menghadap Presiden Soekarno dan menghimbau pembubaran parlemen karena dipandang tidak representatif, dan agar segera diadakan Pemilihan Umum. Permintaan itu tidak dapat dipenuhi. Peristiwa 17 Oktober 1952 ini menimbulkan perpecahan dalam tubuh TNI-AD yang meluas sampai ke divisi-divisi di beberapa daerah. Akhirnya masalah yang berkaitan dengan Peristiwa 17 Oktober 1952 dideponir oleh pemerintah. Namun demikian terhadap peristiwa tersebut tidak dapat diadakan penyelesaian intern secara tuntas dan bahkan terjadilah pergolakan-pergolakan intern dalam tubuh TNI-AD yang berkepanjangan.
Masalah jabatan KSAD berhasil diselesaikan oleh Kabinet Burhanuddin dengan diangkatnya Kolonel A.H. Nasution menjadi KSAD dengan pangkat Jendral Mayor, dan dilantik secara resmi pada tanggal 7 November 1955. Cukup banyak peristiwa terjadi yang sumber pokoknya terletak pada “insubordinasi” terhadap kebijaksanaan KSAD. Di bidang politik terdapat kemacetan dalam Konstituante hasil Pemilu tahun 1955 yang tidak dapat melaksanakan tugasnya menyususn UUD baru. Terdapat dua kubu: yang satu ingin tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar Ideologi agama islam. Sementara di daerah-daerah sumantra, kalimantan, sulawesi timbul pergolakan yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap kebijaksanaan pembangunan Pemerintah Pusat yang dianggap kurang memperhatikan prinsip pemerataan pembangunan di antara daerah-daerah. Timbul dewan-dewan kedaerahan (1956-1957) yang dipimpin/disponsori oleh panglima-panglima didaerah dan dimanfaatkan oleh oposisi (PSI dan Masyumi).
Gejolak dalam lingkungan Angkatan Perang dan gejolak di daerah-daerah seperti diuraikan di atas menyebabkan jatuhnya Kabinet Ali Sastromidjojo pada tanggal 14 Maret 1957. Gejolak di daerah-daerah menjurus ke daerahisme dan separatisme mencapai puncaknya dengan proklamasi PRRI/Permesta pada tanggal 15 Februari 1958 yang penyelesaiannya secara tuntas memerlukan waktu yang cukup lama, tetapi akhirnya berhasil ditumpas dengan oprasi militer (1962).
Keadaan Negara RI pada pertengahan 1950-an menjadi sangat gawat. Pimpinan Negara dalam hal ini Presiden Soekarno mulai mencari sebab-sebab instabilitas politik dan berkesimpulan bahwa semua ini adalah akhibat sistem ketatanegaraan dan politik yang dipakai, ialah sistem demokrasi barat yang berdasarkan individualisme, dalam sisitem pengambilan keputusan dilakukan dengan sisitem voting. Ini dirasakan tidak cocok dengan jiwa bangsa Indonesia yang menganut demokrasi berdasarkan kekeluargaan yang mengambil keputusan dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Lebih buruk lagi ialah penerapan lembaga oposisi yang menjelma menjadi oposisi dengan tujuan menjatuhkan setiap pemerintahan yang sedang berkuasa. Presiden Soekarno yang pernah mempunyai gagasan untuk menghapuskan partai politik dan menggantikannya dengan golongan profesi (fungsional) menawarkan konsepsi demokrasi tepimpin pada bulan Februari 1957 yang pelaksanaannya diwujudkan dengan pembentukan Dewan Nasional yang mencerminkan golongan profesi (fungsional).
Proses “rethinking” juga terdapat dalam lingkungan Angkatan Perang. Bagaimana posisi dan peranan Angkatan Perang dalam negara Pancasila sehingga dapat memberikan sumbangan dan dorongan untuk ikut menciptakan dan meningkatkan stabilitas dan kemajuan masyarakat dan negara dan tetap ikut mempertahankan negara Pancasila yang demokrasi berdasarkan hukum dan konstitusi. Hasil pemikiran di lingkungan Angkatan Perang melahirkan konsepsi seperti dikemukakan oleh KSAD Jendral Nasution di Akademi Militer Nasional (November 1958): TNI/ABRI perlu ikut dalam pembinaan negara, bukan untuk mendominasi dan memonopoli kekuasaan seperti dalam junta-junta militer, karena itu bertentangan dengan Sapta Marga. Hal itu dengan demikian peranan ABRI harus diperluas.
Konsepsi Presiden dibicarakan dalam Dewan Nasional, demikian pula konsepsi A.H Nasution agar TNI dapat dimasukkan sebagai golongan fungsional, sehingga sebagai golongan fungsional ABRI secara resmi dapat berperan di bidang politik. Anjuaran Presiden untuk kembali ke UUD 1945 mengalami perdebatan yang cukup hangat dan lama di Konstitiante. Amandemen fraksi-fraksi Islam agar Piagam Jakarta dimasukkan dalam UUD 1945 ditolak dengan suara 201 setuju dan 265 tidak setuju, sedangkan keinginan fraksi-fraksi yang setuju kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen (melalui tiga kali pemungutan suara) telah menperoleh dukungan suara mayoritas, namun tidak berhasil mencapai mayoritas 2/3 dari yang hadir yang merupakan persyaratan yang diperlukan bagi sahnya keputusan suatu Rancanfan UUD.
Presiden Soekarno dengan dukungan penuh ABRI akhirnya mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959. Dengan diperlakukannya kembali UUD 1945, maka peran politik ABRI sebagai golongan fungsionsl/kekuatan sosial politik memperolah landasan konstitusional.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Dekrit 5 Juli 1959 memuat tiga hal pokok, ialah: (1) Pembubaran Konstituante, (2) Menetapkan UUD 1945 dan berlaku lagi, (3) Pembentukan Majelis Permusawarahan Rakyat Sementara (MPRS) dan dewan pertimbangan agung sementara (DPAS) dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebagai tindak lanjud maka dibentuklah Kabinet Kerja I (tanggal 10 juli 1959) dimana duduk 8 perwira ABRI, di samping para kepala staf Angkatan dan Kapolri yang duduk dalam Kabinet secara ex officio. Dibentuk pula MPRS (tanggal 22 juli 1959) dan DPAS (akhir juli 1959), sedangkan Dewan Nasional dibubarkan. Sementara itu DPR hasil pemilu 1955 menyatakan bersedia bekerja sesuai UUD 1945 dengan DPR-peralihan.
Ternyata tekad untuk kembali ke UUD 1945 tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hak budget DPR tidak dilaksanakan, dalam arti pemerintah tidak mengajukan rencana Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Bahkan kegiatan DPR-peralihan dihentikan karena tidak menyetujui Rencana APBN yang diajukan Pemerintah (1960). Kemudian dibentuk DPRGR dengan 283 anggota, 35 diantaranya dari golongan karya ABRI. MPRS yang kemudian debentuk, DPRGR dan lembaga tinggi lainnya ditempatkan sebagai pembantu-pembantu presiden. Banyak kebijaksanaan dan pengaturan tentang hal-hal yang semestinya dilaksanakan dengan UU, diatur dengan penetapan presiden yang berkekuatan sebagai UU tanpa persetujuan DPRGR. Presiden diangkat untuk seumur hidup oleh MPRS (SU MPRS II Tahun 1963).
Berbagai contoh di atas menunjukkan terjadinya penyelewengan terhadap UUD 1945, suatu hal yang sangat tidak dikehendaki oleh ABRI. Walaupun demikian ABRI dalam kenyataannya tidak dapat berbuat banyak, bahkan dalam menghadapi berbagai kebijaksanaan presiden tidak dapat berbuat lain daripada melaksanakannya. Keadaan seperti ini terpaksa dilakukan untuk menghindari situasi konfrontatif dengan presiden yang dapat berakhibat mondorong lebih dekatnya presiden dengan PKI.
Dekrit presiden Soekarno 5 juli 1959 yang berisikan keputusan untuk kembali ke UUD 1945 tidak mungkin dikeluarkan tanpa dukungan sepenuhnya dari ABRI. Walaupun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, setelah UUD 1945 dilaksanakan secara tidak semestinya, demikian juga karena tindakan-tindakan presiden menjurus kepemerintahan diktaktor, serta adanya sikap presiden soekarno yang istimewa terhadap PKI, maka tmbullah jarak psikologis antara presiden Soekarno dan ABRI. Presiden Soekarno yang ingin lebih berperan dalam kedudukan sebagai panglima tertinggi ABRI pada bulan juni 1962 membentuk staf Angkatan Bersenjata yang dipimpin oleh kepala staf angkatan bersenjata (KSAB). Sebagai KSAB ditunjuk Jendral A.H Nasution, kedudukannya sebagai kepala staf angatan darat digantikan oleh mayor jendral A. Yani. Sementara itu angkatan-angkatan dan Polri dengan kepala staf angkatan dan kapolri yang diberi kedudukan mentri ditetapkan langsung bertanggung jawab kepada presiden. Ketentuan terakhir ini memperbesar kekuasaan presiden terhadap angkatan dan Polri, namun memperlemah persatuan dan kesatuan dalam tubuh ABRI.
Tujuan Front Nasional sebagai alat demokrasi terpimpin ialah: (1) menyelesaikan revolusi nasional indonesia, (2) melaksanakan pembangunan semesta nasional, (3) mengembalikan irian barat kewilayah RI. Sejak bulan maret 1961 dibentuk cabang-cabang Front Nasional di daerah-daerah. Sementara itu Front Nasional sendiri menjadi ajang arena perebutan pengaruh antara partai-partai politik dan golongan karya murni, terutama antara PKI dan ABRI. Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1964 dengan bantuan ABRI, organisasi-organisasi golongan fungsional dalam Front Nasional mengadakan forum kerja sama, diputuskan untuk membentuk “Serikat Golongan Karya” yang disingkat Sekber Golkar. Sekber Golkar dibentuk dengan maksud menandingi FrotNasional yang di dominasi oleh PKI.
Usaha-usaha lain yang digunakan oleh ABRI dalam rangka mengimbangi kekuatan PKI terutama di daerah-daerah, ialah dengan jalan meningkatkan organisasi teritorial sesuai dengan doktrin perang wilayah. Pada akhir 1962 dalam struktur aparatur teritorial ditingkat kecamatan diadakan Komando Rayon Militer (KORAMIL) dan sejak 1963 ditingkat desa diadakan Bintara Pembina Desa (BABINSA). Dalam bidang media komunikasi masa, ABRI menerbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha untuk mengimbangi propaganda dan agitasi PKI melalui surat kabar harian rakyat, bintang timur, dan wana bakti. Ditingkat perguruan tinggi diadakan resimen mahasiswa untuk mengimbangi kegiatan CGMI yang berafiliasi PKI.11
Keadaan ekonomi sangat memburuk; PKI melancarkan demostrasi besar-besaran untuk menuntut penurunan harga beras dan perbaikan ekonomi. Agitasi dilancarkan terhadap jendral-jendral ABRI sebagai kapitalis birokrat, koruptor, setan-setan kota dan sebagainya yang mencapi puncaknya dengan pemberontakan G 30 S/PKI pada dini hari 1 Oktober 1965. Pasukan-pasukan bersenjata mengadakan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama TNI-AD dan perebutan beberapa instalasi strategis di ibukota. Secepat meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI secepat itu pula penumpasannya oleh soeharto, yang kemudian ditugasi oleh presiden Soekarno untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan dengan G 30 S/PKI.
Dalam situasi politik yang tidak menentu, krisis ekonomi menjadi semakin parah, masyarakat menjadi gelisah dan tidak puas. Akhirnya meledaklah demonstrasi-demontrasi mahasiswa. Mereka mengajukan Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA) kepada pemerintah pada tanggal 10 januari 1966, yaitu; (1) Bubarkan PKI, (2) Turunkan harga/perbaiki ekonomi, (3) Retool kabinet dwikora. Untuk mengatasi krisis nasional yang semakin parah, pada tanggal 11 September 1966 presiden Soekarno memerintahkan kepada Letjen Soeharto atas nama presiden mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi terjalinnya keamanan, ketenangan serta kesetabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.
Berdasarkan Surat perintah 11 Maret 1966 tersebut segera diambil tindakan untuk menyelesaikan masalah PKI. PKI beserta seluruh ormasnya dilarang dan tidak mempunyai hak hidup lagi terhitung mulai tanggal 12 maret 1966. Disamping itu pada tanggal 18 Maret 1966 diadakan pengamanan terhadap 15 menteri yang dinilai terlibat dalam G 30 S/PKI atau memperlihatkan iktikad tidak baik dalam rangka penyelesaian mandat itu. Sementara itu DPRGR dalam sidang Paripurnanya tanggal 16 maret 1966 mendukung kebijakan Pengemban Surat Perintah 11 Maret.
Masa Orde Baru (1966-berkembangnya)
Orde Baru ialah tatanan seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang kita letakkan kembali kepada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966 telah berhasil dibentuk kabinet Ampera, dengan dibentuknya Kabinet Ampera yang dipimpin oleh Soeharto yang didalamnya terdapat pula perwira-perwira ABRI, berarti ABRI menerima dan ikut bertanggungjawab atas nasib bangsa dan negara. Didorong oleh rasa tanggungjawab tersebut diadakanlah seminar angkatan darat II di SESKOAD Bandung pada tanggal 25 s/d 31 Agustus 1966. Seminar ini membahas 3 permasalahan pokok, yaitu; (1) Stabilitas sosial politik, bagian ke pertamanya “masalah persatuan dan kesatuan nasional yang kokoh dan dinamis sebagai prasarat untuk menyukseskan progran-program nasional, serta peranan Angkatan Bersenjata/TNI-AD khususnya”, (2) Stabilitas sosial ekonomi, bagian ketiganya “Peranan Angkatan Bersenjata, TNI-AD khususnya dalam sektor produksi dan distibusi”, (3) Kedudukan dan peranan ABRI/TNI-AD dalam revolusi Indonesia sebagai alat revolusi, alat penegak demokrasi dan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara(alat revolusi=alat perjuangan).
Tentang masalah ketiga yang dibicarakan dalam seminar TNI-AD ke II tersebut merupakan penyempurnaan doktrin perjuangan TNI-AD “TRI UBAYA CAKTI” dari hasil seminar TNI-AD I yang diselenggarakan pada tanggal 2 s/d 9 April 1965. Sebagaimana diketahui, dalam doktrin TRI UBAYA CAKTI hasil seminar TNI-AD I, untuk pertama kalinya dirumuskan doktrin Dwifungsi ABRI. Ditegaskan bahwa kedudukan TNI-AD sebagai golongan karya ABRI merupakan suatu kekuatan sosial politik dan kekuatan militer; adalah bagian daripada kekuatan progresif-revolusioner yang menetapkan sekaligus perannya sebagai alat revolusi, alat demokrasi, dan alat kekuasaan negara. TNI-AD sebagai alat revolusi, alat demokrasi, dan alat kekuasaan negara, ikut mengambil bagian dalam menentukan dan melaksanaakan Haluan Negara, untuk menuju tercapainya “masyarakay sosialis indonesia berdasarkan pancasila dan terciptanya cita-cita pembentukan dunia baru, melindungi kepentingan nasional dan membina pertahanan/keamanan nasional”. Dalam pengembangan doktrin ini perlu difahami bahwa kedudukan dan peranan golongan karya kini sudah jelas dan nyata daripada dimasa lalu. Dalam hal ini peranan TNI-AD sebagai salah satu unsur golongan karya ABRI sangat menentukan dalam pembinaan dan pengembangan golongan karya secara keseluruhan. Telah disoroti pula 3 masalah pembinaan TNI-AD sebagai; Kekuatan Militer, Golongan Karya, dan Pembinaan Pertahanan Darat nasional.
Pada dasarnya semua kekuatan sosial politik secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam tiap kegiatan dalam proses siklus tersebut, demikian pula ABRI sebagai kekuatan sosial politik. Keterlibatan ABRI khususnya diwujudkan dengan duduknya wakil-wakil ABRI sebagai fraksi ABRI dalam MPR, DPR, dan DPRD. Fraksi ABRI ini disamping sebagai wakil-wakil rakyat juga merupakan fraksi “pendukung pemerintah”. Di bidang eksekutuf ABRI juga menyumbangkan prajurit-prajurit terbaiknya untuk melaksanakan tugas negara dan pemerintahan di banyak bidang mulai dari tingkat yang tertinggi samapai yang terendah, di pusat maupun di daerah. Di samping itu ABRI juga menyumbangkan gagasan dan fikirannya berupa konsep-konsep kepada pemerintah. Dengan usaha seperti diatas, maka ABRI sebagai kekuatan sosial politik selalu membantu pelaksanaan program-program repelita untuk mencapai cita-cita.

sumber : http://blogshop.kompasiana.com/2010/01/12/sejarah-munculnya-dwifungsi-abri/

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

2 comments:

 

© 2010 Fandypedia. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top