"Memories and thoughts age, just as people do. But certain thoughts can never age, and certain memories can never fade."
—Haruki Murakami dalam The Wind-Up Bird Chronicle.
—Haruki Murakami dalam The Wind-Up Bird Chronicle.
Berkawan dengan waktu, dan menjadi sahabat terbaik yang mampu mengimbanginya. Hal itu selalu menjadi cita-cita saya. Sebab sang waktu dapat berlari lebih cepat dari rusa thompson, dan rekor berlari saya cukup memprihatinkan. Namun di tengah nyanyian merdu si jangkrik malang—yang sepertinya juga ingin menjinakkan waktu, saya berhenti berlari untuk sejenak menoleh ke belakang. Usia makin bertambah, zaman pun kini mulai berubah. Sebelum menginjakkan kaki lebih jauh di gerbang kedewasaan, izinkan saya mengenang masa kecil yang senantiasa memantik kerinduan.
Dilahirkan tahun 1993, ya, saya adalah bagian dari Generasi 90an. Well, saya tidak pure menikmati masa kecil di era 90an—karena baru mulai mengenyam pendidikan dasar di tahun 1999. My childhood lies between 1990s to early 2000s. Meski game konsol sudah merajalela, namun keseimbangan dalam dunia bermain kanak-kanak di masa itu tetap terjaga dengan asyiknya permainan tradisional. Ah, kali ini biarkan saya menenggelamkan diri di lautan nostalgia. And this is gonna be a long loooooooooong post.
MAINAN
Meski penetrasi teknologi sudah mulai santer di masa kecil saya, permainan yang mungkin sekarang sudah terbilang kuno masih memiliki ruang tanpa batas untuk bernapas.
Tak jongkok, petak umpet, benteng, hopscotch (engklek), saya-orang-kaya saya-orang-miskin. Demikian sejumlah nama permainan yang hanya membutuhkan badan beserta energi, biasanya dimainkan ramai-ramai dan sudah populer sejak TK. Jika tak berkeberatan sedikit merogoh kocek, bermain sepeda, boneka, Barbie, congklak, masak-masakan, atau rumah-rumahan pun menyenangkan. Dari TK pula, saya sudah menjadi penggila board game macamMonopoly, Ludo, Ular tangga,Mahjong, Abalone, dan terutama SCRABBLE. Biasa main sama Papa, sok-sok ngerti Bahasa Inggris. Tapi kalau main sendiri, pasti cek kata di kamus—haha, ketahuan begonya deh.
Tiap waktu istirahat di SD, saya rutin main lompat tali bersama teman-teman. Namun tatkala Ramadhan datang, kami semua absen bermain lompat tali yang amat menguras tenaga. Bekel menjadi pilihan alternatif karena hanya butuh kegesitan tangan. Tidak seasyik lompat tali memang. Pernah kami nekat bermain lompat tali saat sedang berpuasa. Hasilnya? Lelah Letih Lesu Lemah Lunglai. Untung tidak batal!
Tamiya andalan. |
Jaman SD—sekitar kelas 4, Dance Dance Revolution dan Pump It Up sudah beken. Dulu, di sebelah SD saya ada semacam Timezone. Tapi saya sih nggakmain DDR, nggak ada bakat.
Jangan lupakan PC Games dengan komputer bermonitor sanggul, ingatkah Pinball? Solitaire? Chip's Challenge? Bounce? Dan yang sedikit keren, The Sims 1? Kontras dengan masa kini, di masa itu kita harus puas dengan kualitas graphic seadanya. Memang, yang sederhana justru akan lebih mengena.
Games today:
Ya, beginilah teknologi.
TELEVISI
Entah mengapa, waku kecil, televisi lokal bahkan sudah amat menarik bagi saya. Namun melihat keadaan anak-anak balita sekarang, sepertinya mereka tidak bisa bertahan tanpa TV kabel. Faktor penyebabnya ialah TV lokal kurang memberi sajian kartun yang menarik bagi anak-anak, Minggu pagi tidak seperti dulu lagi. Sementara terdegradasinya derajat parabola yang kini bukan lagi barang mewah dan maraknya pemasaran TV kabel berperan sebagai faktor pendorong. Hanya dengan membayar sekitar Rp 200.000/bulan, kita dapat menikmati saluran TV luar negeri sepuasnya.
Kartun
Ini nih yang paling eksis |
Kartun merupakan ikon tayangan televisi bagi anak-anak generasi 90an. Sebut saja kartun-kartun hari Minggu: Kobo Chan, P-Man, Chibi Maruko Chan, Powerpuff Girls, Doraemon, Ninja Hatori,Detective Conan, Sailormoon, Crayon Sinchan, Inuyasha, Pokemon, Digimon, dan tentunya Dragon Ball. Sementara ANTV menayangkan kartun produksi Cartoon Network sepertiThe Flintstones, dan Scooby Doo. Namun Felix the Cat ditayangkan di (almarhum) TPI, makin asyik aja.
Kartun-kartun 2000an awal seperti Let's & Go, Beyblade, Yu-Gi-Oh!, Crush Gear, dan Hamtaro juga tak pernah luput dari daftar tontonan. Bukan hanya RCTI dan Indosiar yang menjadi juragan kartun. TV7 (Saat ini Trans7) pun sempat menyuguhkan kartun yang tak kalah seru, sebut saja Captain Tsubasa—ini dia sang jagoan yang bikin saya jadi malas ngaji ke masjid sore-sore, Honey Bee Hutch, Nube, Mahha Go, Hunter X Hunter, Hikaru no Go, Saint Seiya, Azuki Chan, sampai Ghost at School.
Ada pula kartun yang tidak memiliki jadwal penayangan tetap atau bahkan tidak ditayangkan di televisi lokal. Tom and Jerry, Mickey Mouse, Winnie the Pooh, dan beberapa kartun lainnya. Jika tidak mampu membeli VCD-nya di Disc Tarra atau Harika Music, bisa beli di tukang VCD bajakan. Masih tidak mampu juga? Bisa menyewa di Video Ezy!
Perbincangan tentang kartun memang takkan pernah ada habisnya. Namun sayang seribu sayang, stasiun-stasiun televisi swasta dewasa ini lebih suka menayangkan acara musik live yang diisi oleh band-band yang rata-rata (maaf) kacangan. Dan maraton kartun di Minggu pagi tinggal kenangan.
Lainnya: Kuis, Series, Show Musik
Famili 100. Ingat sound effectsnya? |
Janggalnya, dari yang saya amati, suasana studio-studio kuis 'versi lama' justru nampak lebih megah. Dan latar si 'versi baru' ini cenderung kurang menarik.
Pernah nonton Spontan? Uhuy! Dipandu oleh Komeng, reality show yang super duper usil ini merupakan pionir dari reality show macam Super Trap.
Seperti baru kemarin nama Attalarik Syah tercatat sebagai peran utama, sekarang beliau jadi bapaknya pemeran utama. Yah, kalau dibilang anak-anak sekarang tuh tontonannya film pacaran doang!, sebenarnya nggak juga sih. Saya waktu kecil pernah nonton sinetron macam Tersanjung kok. Sinetron 90an terkesan lebih berbobot karena hanya tayang seminggu sekali, tidak stripping. Umumnya adaptasi dari novel-novel, dan NGGAK MAKSA sampai ratusan episode. Selain sinetron, serial favorit 90an mencakup Keluarga Cemara, Si Doel Anak Sekolahan, Lupus Milenia, Saras 008,Panji Manusia Millenium, Anak Ajaib, Luv dan Rajawali,Bidadari, 1 Kakak 7 Keponakan, Jin dan Jun, Tuyul dan Mbak Yul, Jinny oh Jinny, Power Rangers, Big Bad Beetleborgs, Lizzie McGuire, Sweet Life of Zack and Cody. Banyaaaak!
Ungkapan music is my drug tidak hanya berlaku untuk ABG gaul saja. Kali ini, saya tidak akan membahas musik-musik barat yang memang sudah bersahabat dengan telingan anak-anak 90an—bahkan saat itu saya masih TK dan tergila-gila akan Justin Timberlake dari 'N Sync, yeah it's gonna be me! Saya juga tidak membicarakan Sheila on 7 atau Dewa 19. Anak-anak di era 90an memiliki acara-acara musik yang sesuai dengan usianya sendiri. RCTI misalnya, ia memiliki program andalan bernama Tralala Trililibersama Agnes Monica. Juga Ci Luk Baa di SCTV dengan Maissy sebagai host-nya atau TPI denganKring Kring Olala! Dulu, pamor penyanyi cilik arguably sederajat dengan penyanyi dewasa, sama-sama populer. Tidak seperti sekarang. Detik ini, mana ada grup vokal cilik yang mengalahkan kepopuleran Trio Kwek Kwek di masanya? Di awal 2000an, nama Sherina dan Tasya turut meramaikan dunia musik anak-anak.
TV Shows today:
Masya Allah......
Akhir kata,
Saya bersyukur dapat tumbuh dan berkembang di zaman yang penuh kesederhanaan, selamanya akan menjadi kenangan yang takkan terlupakan. Saya bersyukur akan tawa geli atas kebodohan masa lalu yang kelak akan menjadi pembelajaran.
Entahlah, jika saya dibesarkan di era 2010an, mungkinkah saya akan kerasan? Mudahkah saya menemukan kebahagiaan? Akankah saya akan memiliki memori yang lebih jenaka daripada yang saat ini saya simpan?
Jawaban untuk pertanyaan terakhir, sepertinya tidak.
Thank you, my childhood.
sumber : http://ncisinta.blogspot.co.id/2013/06/mengenang-era-90an-dan-awal-2000an.html
kalau zaman sekarng fil itu kebanyakan sinetron jadi saya jarang nonton tv.. hmm
ReplyDelete