Saturday 9 April 2016

Kisah Parma: Kesetiaan sang Kapten dan Impian Perusahaan Susu yang Jatuh

18:30

Klub ini akan bersiap-siap untuk bermain di kasta ke empat sepak bola Italia musim depan, setelah mereka gagal mendapatkan pembeli klub tersebut. Alison Ratcliffe mencoba membuka kembali kisah indah dari Parma yang kala itu dihuni oleh nama-nama besar...
Lewat salah satu keputusan wasit yang paling bodoh di Serie A, Marcello Nicchi memberikan tendangan bebas bagi lawan Parma saat mereka bertanding di Cremonese pada Oktober 1993, setelah para pemain Gialloblu yang tak henti-hentinya menguasai bola dianggapnya membuang-buang waktu.

Bukan hal mengejutkan jika kemudian publik sepakbola Italia melihat masalah itu bukan sesuatu yang besar, dan Parma asuhan Nevio Scala terus melakukan sepakbola yang mementingkan penguasaan bola dan menghasilkan efek yang bagus, lebih dari dua dekade sebelum para penentang tiki-taka berupaya untuk menggunakan cara Nicchi untuk menghentikannya.
Scala Dan Kesuksesannya
Thomas Brolin dan Claudio Taffarel mungkin merupakan nama yang paling menonjol dari line-up Parma pada musim pertama mereka di Serie A, yaitu 1990/91. Tetapi pemain libero Lorenzo Minotti dan regista Daniele Zoratto merupakan pemain kunci mereka. Ketika semua orang di sekitarnya menggunakan sistem man-marking yang tradisional atau menggunakan zonal-marking dengan 4-4-2, Scala malah memilih 5-3-2 khasnya sendiri (yang mirip dengan 3-5-2 yang mungkin telah Anda lihat digunakan di Turin dalam beberapa musim terakhir).
Ia memprogram ulang catenaccio yang ia pelajari dari godfather dinasti kepelatihan Milan, Nereo Rocco, dengan instruksi kepelatihan dari Belanda. Minotti memiliki peran sebagai playmaker, sementara semua aliran umpan bola selalu melalui Zoratto. Parma menggunakan kiper yang biasa menguasai bola, garis pertahanan yang tinggi dan tempo yang tinggi; dan kemauan untuk bersabar menguasai bola sampai ada ruang tercipta yang kemudian akan dimanfaatkan untuk para full-back menyerang.
image: http://i.giflike.com/RswZv1p.gif

Untuk seseorang yang lebih mementingkan gaya ketimbang hasil, Scala berhasil mencapai kesuksesan yang impresif di Parma. The Emiliani sebelumnya berkubang di sekitar divisi D, C, dan B di sepanjang eksistensi mereka; Scala membawa mereka ke Serie A pada usaha pertama mereka (meski ia membangunnya di atas pondasi yang telah dibuat oleh Arrigo Sacchi). Pada musim pertama mereka, ia langsung membawa mereka ke posisi kelima....kemudian ke Coppa Italia 1992, Piala Winners Eropa 1993 dan Piala Super Eropa 1993, serta Piala UEFA 1995.
Parma dua kali finis di posisi ketiga di Serie A dan mencapai final Piala Winners Eropa 1994. Gialloblu berpusar dalam lingkaran trofi dan pembelian pemain-pemain berkualitas: Antonio Benarrivo, Alberto Di Chiara, Faustino Asprilla, Roberto Sensini, dan Gianfranco Zola. Dino Baggio datang dari Juventus, yang membuat pemilik Bianconeri dan juga pengusaha sukses Fiat, Gianni Agnelli, berkomentar, “Kini, Anda bisa lebih kaya dengan menjual susu ketimbang menjual mobil (mengacu pada usaha sponsor dan pemilik Parma, Parmalat).”
Kaya Berkat Susu
Hampir semua komentator asing menyebut tim ini Parmalat, bukan Parma
- Parmalat's Domenico Barili
Segala pengeluaran Parma pada saat itu dengan mudah ditutup oleh perusahaan susu raksasa lokal Parmalat, yang dikepalai oleh Carlisto Tanzi.
Tanzi membeli saham Parma pada tahun 1987 dari presiden klub Ernesto Ceresini, yang meninggal tiba-tiba hanya tiba sebulan sebelum promosi klub ke Serie A, dan mayoritas sahamnya pada akhirnya dibeli oleh Parmalat.
Menurut ahli marketing Parmalat, Domenico Barili, memiliki klub dan nama perusahaan di seragam tim adalah “contoh pertama sponsorship yang sempurna”. Meski Parma sering “nyaris” menjadi juara tetapi tidak pernah meraih scudetto, Parmalat tidak merasa terlalu khawatir: kesuksesan klub di Eropa lebih berguna bagi perusahaan secara komersial. “Hampir semua komentator asing menyebut tim ini Parmalat, bukan Parma,” kata Barili. “Ini bukan kesalahan yang buruk, dan sangat menyenangkan bagi perusahaan.”
image: http://images.cdn.fourfourtwo.com/sites/fourfourtwo.com/files/styles/inline-image/public/parma_1997_team.jpg?itok=hrPHVBAv
Parma 1997, dengan Messrs Buffon, Thuram, Cannavaro, Crespo, Stoichkov
Parma 1997, dengan Messrs Buffon, Thuram, Cannavaro, Crespo, Stoichkov
Tetap saja, keberhasilan Parma tercapai di lingkungan yang bisa disebut sebagai ‘pulau yang menyenangkan’, di mana, sebagaimana yang pernah ditulis oleh La Gazzetta dello Sport, “Sepakbola seperti batu berharga di sebuah perhiasan yang sudah begitu indah: teater, standar hidup yang tinggi, gastronomi, monumen-monumen.”
Sacchi mengingat masa-masanya ketika melatih di sana. “Parma adalah contoh peradaban, edukasi, dan kenikmatan hidup yang unik, dan bukan hanya di olahraga. Di stadion, Anda tidak pernah mendengar nyanyian-nyanyian yang buruk.”
Para pendukung Parma dikenal pernah merayakan kandasnya mereka di Piala UEFA 1992. Fans olahraga Parma yang terhormat itu tumbuh bersama rugby, voli, dan baseball, dan kebiasaan mereka bermain Triumphal March dari Aida di stadion sepakbola kota tersebut banyak dilakukan untuk menghormati seorang anak lokal bernama Verdi, yang namanya juga digunakan untuk menamai Parma sebagai sebuah klub di awal berdirinya.
image: http://images.cdn.fourfourtwo.com/sites/fourfourtwo.com/files/styles/inline-image/public/parma_fans.jpg?itok=zHPful2M
Pendukung Parma
Pendukung Parma: tipikal kumpulan orang-orang yang tenang
Ini adalah kondisi yang sempurna bagi Scala untuk membangun tim dan permainannya yang sabar. Namun hal ini terganggu ketika nafsu Parmalat meningkat, yaitu ketika Tanzi membeli Hristo Stoichkov dengan harga 10 juta pounds (saat itu nyaris menjadi rekor transfer dunia) pada tahun 1995. Stoichkov tidak cocok dengan sistem permainan yang diusung Scala, dan ia langsung pergi setelah satu musim – musim pertama Parma tanpa trofi sejak promosi – yang kemudian diikuti dengan kepergian Scala.
Kegagalan Para Bintang
Kepergian Ancelotti dipastikan setelah kegagalannya di Liga Champions dan penolakannya untuk menyetujui transfer Roberto Baggio yang diupayakan oleh Tanzi.
Eks pemain bintang Carlo Ancelotti mengambil alih Parma dan tidak memenangkan apa-apa. Lilian Thuram, Enrico Chiesa, dan Hernan Crespo kemudian datang untuk melengkapi kehadiran Fabio Cannavaro, yang datang bersamaan dengan Stoichkov. Gianluigi Buffon, yang mendapatkan debutnya di usia 17 tahun dari Scala, menjadi pilihan utama. Kemudian Parma berhadapan dengan Juventus lagi. Parma mengalahkan Juve yang kala itu di asuh Giovanni Trapattoni pada Coppa Italia 1992. Pada 1994/95, mereka menghadapi Juve asuhan Marcelo Lippi tujuh kali, dan mengalahkan mereka di final Piala UEFA namun kalah di Coppa Italia.
Parma tiba di Turin tiga pekan sebelum musim 1996/97 berakhir, hanya enam poin di belakang Juve. Gol bunuh diri Zinedine Zidane membuat mereka unggul; sebuah penalti yang kemudian dianggap kontroversial diberikan oleh Pierluigi Collina setelah Cannavaro dianggap melanggar Christian Vieri dan Juve pun mendapatkan hasil imbang. Bianconeri kemudian memenangi gelar juara hanya dua poin di atas Gialloblu.
image: http://images.cdn.fourfourtwo.com/sites/fourfourtwo.com/files/styles/inline-image/public/ancelotti_crespo_thuram_parma.jpg?itok=yU4fGWCE
Rezim Ancelotti berakhir secara tragis walaupun skuatnya diisi oleh Crespo, Thuram dan pemain bintang lainnya
Rezim Ancelotti berakhir secara tragis walaupun skuatnya diisi oleh Crespo, Thuram dan pemain bintang lainnya
“Di Parma, tidak cukup berusaha untuk mengejar scudetto. Anda juga harus memainkan sepakbola yang indah,” ujar Tanzi. Scudetto malah menjauh setelah musim kedua Ancelotti berakhir di posisi keenam, dan kepergiannya dipastikan setelah kegagalannya di Liga Champions dan penolakannya untuk menyetujui transfer Roberto Baggio yang diupayakan oleh Tanzi. Parma terus bersinar dengan terang, tetapi tidak pernah mencapai konsistensi yang dibutuhkan. Alberto Malesani mengantarkan mereka meraih tiga gelar juara dalam 100 hari (Coppa Italia, Piala UEFA, dan Piala Super Italia), tetapi trofi-trofi ini terlihat seperti bukan hal istimewa lagi bagi skuat yang mewah yang kini memiliki Juan Sebastian Veron. Dan Malesani tidak pernah benar-benar cocok di Parma. Kepergiannya kemudian memicu sebuah efek bola salju: empat pelatih berbeda datang dalam satu setengah musim.
Akhir Cerita
Kemudian datanglah bencana itu, atau “crac”, sebagaimana orang Italia menyebutnya. Anda mungkin tidak mengetahui tentang kebangkrutan pertama klub ini pada tahun 1968, yang diikuti dengan pendirian kembali klub tersebut. Tetapi tidak ada yang tidak mengetahui soal kejatuhan yang spektakuler dari Parmalat – dan 1% Produk Domestik Bruto Italia – pada tahun 2003. Parma diselamatkan dari kejatuhan itu, berkubang di pertarungan menghindari degradasi, kembali promosi, dan mencapai papan tengah Serie A, sebelum akhirnya kembali meluncur ke lubang yang lebih dalam.
Reaksi Crespo, top skorer klub dan kini pelatih tim junior klub, dan Scala, manajer terhebat mereka, sungguh menyedihkan. “Jika kami harus membawa para pemain ke pertandingan tandang dengan uang kami sendiri dan mobil-mobil kami sendiri, kami akan melakukannya. Kamu sudah melakukannya,” kata Crespo pada Februari lalu. “Saya melihat pusat latihan ini dibangun; saya mencetak gol pertama di sini. Sangat kecewa rasanya melihat bagaimana semuanya terjadi. Kami akan menghormati klub ini hingga akhir.”
Scala telah berbicara soal kembali dari kehidupannya sebagai petani yang telah ia lakoni selama satu dekade terakhir untuk membantu klub. “Saya terkejut dengan situasinya. Kecewa dan kehilangan rasa percaya. Mereka menghancurkan bayi saya... sulit untuk mengerti bagaimana mereka bisa menghancurkan batu mulia yang kecil dan indah ini,” katanya. Tetapi, “Ada satu hal yang perlu saya tekankan: Parma bisa saja gagal di atas kertas, tetapi emosi dan kebahagiaan yang diberikan fans dan kota ini – hal itu akan hidup selamanya.”

Read more at http://www.fourfourtwo.com/id/features/kisah-parma-hernan-hristro-gigi-dan-impian-perusahaan-susu-yang-jatuh#rZucBBf5YG2eOODE.99



Kesetiaan sang kapten
Masalah finansial juga mengancam eksistensi Parma di Serie A. Bila tidak segera diselesaikan maka Parma akan menyusul Fiorentina di tahun 2002, Napoli di 2004 atau yang terbaru, Siena di 2014 yang bangkrut dan harus turun ke kasta terendah liga italia, yaitu Serie D.Kondisi Parma FC kini sungguh mengenaskan. kesebelasan yang di awal milenium tergabung dalam magnificient seven itu kini terkatung-katung nasibnya akibat masalah finansial. Imbasnya, dua laga Serie A terakhir melawan Genoa dan Udinese harus ditunda karena tidak ada dana bagi Parma untuk melakoni pertandingan tersebut.
Selain itu, eksodus perpindahan pemain juga mengancam Parma. Tidak perlu menunggu lama, di bulan januari lalu penyerang terbaik mereka, Antonio Cassano, memilih memutus kontrak dan meninggalkan Parma.
“Kini saya merasa lebih baik mengakhiri kontrak karena mereka terus memeras selama tujuh bulan terakhir. Saya lelah dan memutuskan untuk pergi,” ujar Cassano, yang gajinya belum dibayar oleh Parma dari awal musim.
Ya, pemain-pemain parma memang belum menerima gaji semenjak Seria A 2014/2015 dimulai. Fakta yang mengejutkan bahwa mereka tetap bersedia bermain hingga 23 pekan.
Tetapi bagi Alessandro Lucarelli, ancaman degradasi maupun masalah finansial tidak serta merta menggoyahkan loyalitas sang kapten bagi I Gialloblu.
“Saya akan bermain di Serie D bagi Parma jika diperlukan,” ujar Lucarelli pada Radio D’Anchio, menanggapi rumor akan didegradasinya Parma ke divisi terbawah liga professional di Italia.
Karir Lucarelli sebagai pemain sebenarnya tidak terlalu bersinar. Sebelum membela Parma, pemain yang kini berusia 37 ahun ini malang melintang di banyak kesebelasan medioker di Italia. Mengawali karir professional di Piacenza, Lucarelli kemudian berturut-turut membela Palermo, Fiorentina, Livorno, Reggina, Siena, Genoa dan terakhir di Parma.
Alessandro Lucarelli membela Parma sejak dari musim 2008/2009. Pemain yang berposisi sebagai bek tengah ini adalah kapten Parma sejak 2013 hingga saat ini, dan telah mencatatkan lebih dari 200 penampilan bagi Parma.
Dan di Parma-lah, Alessandro meletakkan kesetiaannya. “Setelah tujuh tahun, saya merasa seragam ini adalah milik saya, dan saya bersedia untuk bermain bagi klub ini di level apapun,” lanjutnya.
Di saat sekarang ini, kesetiaan pemain terhadap kesebelasan sudah jarang ditemui. Kibasan materi, godaan prestasi maupun terpuruknya kesebelasan yang dibela membuat pemain sering bergonta-ganti klub. Industri sepakbola, kian lama kian melumerkan eksistensi kata “loyal” dalam sepakbola.
Nama-nama seperti Alessandro Del Piero, Gianluigi Buffon, ataupun Pavel Nedved pantas diapresiasi atas kesetiaan mereka yang tetap membela Juventus setelah terdegradasi ke Serie B di musim 2006/2007.
Tetapi bagaimanapun juga, Si Nyonya Tua tetaplah kesebelasan besar, bahkan setelah kasus calciopoli. Terbukti hanya dalam waktu semusim, Juve kembali ke habitatnya di Serie A dengan status juara Serie B. Mereka pun tak mengalami kesulitan finansial semengerikan Parma sekarang.
Berbeda dengan kondisi Parma saat ini, dengan kondisi finansial yang parah (Parma dilaporkan memiliki hutang sebesar 197 juta euro) dan ancaman turun ke serie D, kesetiaan pemain terhadap kesebelasan seperti ini merupakan hal yang luar biasa.
Dengan pernyataannya yang menegaskan bahwa dia tidak akan meninggalkan Parma dengan kondisi apapun, Alessandro Lucarelli adalah sosok pemain yang luar biasa. Apa yang melatarbelakangi keputusannya tersebut?
Pengaruh Livorno
Livorno adalah sebuah kota pelabuhan di barat Italia, sekitar 360 km arah barat laut dari kota Roma. Kota Livorno sendiri bukanlah kota sebesar Roma atau Milan. Kesebelasan asal kota ini, A.S. Livorno Calcio juga bukan termasuk kesebelasan elit. Prestasi terbaik AS Livorno cuma peringkat 2 Serie A pada musim 1942/1943.
Yang membuat Livorno terkenal memang bukan soal prestasi, tetapi soal ideologi. Kota Livorno adalah basis bagi komunisme di Italia, berkebalikan dengan Italia dahulu yang terkenal dengan fasisme nya. Dan AS Livorno adalah perwujudan yang paling tepat untuk menggambarkan ideologi haluan kiri tersebut.
Saat Livorno bermain di kandang, dapat dipastikan di salah satu sudut stadion Armado Picchi dipenuhi oleh ultras Livorno. Sebagai ultras yang berhaluan komunis, mereka tidak segan-segan meneriakkan yel-yel tentang anti-rasis, anti-fasis dan protes terhadap pemimpin politik.
Alessandro Lucarelli lahir dan besar di Livorno. Alessandro sendiri tidak lain adalah adik dari Cristiano Lucarelli, mantan penyerang Livorno yang terkenal dengan keberpihakannya pada ideologi komunis. Dan sebagai orang Livorno, Lucarelli bersaudara juga mewakili apa yang menjadi identitas kota mereka, komunisme.
Cristiano secara terang-terangan menunjukkannya dengan simbol di dalam maupun di luar lapangan. Di lapangan, Cristiano sering melakukan selebrasi mengepalkan tangan dan meninju langit seperti halnya kaum komunis dan sosialis.
Di luar lapangan, Cristiano adalah anggota kelompok ultras Brigate Autonome Livornesi (BAL), salah satu ultras dari Livorno. Cristiano juga mentato badannya dengan logo kesebelasan Livorno.
Terdidik dalam lingkungan yang banyak menjunjung tinggi prinsip-prinsip sosialisme macam itu, Alessandro akhirnya tampil ke permukaan mewakili arti “kesetiaan” dalam sepakbola. Ia, bersama abangnya Cristiano, memperlihatkan bagaimana sepakbola masih lompatibel untuk mewedarkan prinsip-prinsip persaudaraan, kesetaraan, juga solidaritas dan kesejahteraan bersama.
Sebagai kapten, Alessandro Lucarelli sudah melaksanakan tanggung jawabnya menjaga moral rekan-rekannya di ruang ganti. Tugas yang tidak mudah mengingat para pemain belum menerima gaji selama berbulan-bulan.
Dan meskipun secara hukum Lucarelli dan pemain Parma bisa menuntut klub karena tidak memenuhi kewajiban membayar gaji pemain, tetapi dia tidak melakukannya.
“Menuntut klub (dan membuatnya bangkrut) sama artinya dengan membuat 200 keluarga yang bekerja pada Parma menjadi pengangguran,” jelas Lucarelli. “Saya tidak berpikir tentang para pemain, tetapi tentang mereka mereka yang mendapat gaji 1000 euro per bulan. Kami merasa tanggung jawab tersebut ada di pundak kami.”
Pahlawan Sepakbola
Di luar lapangan, secara terbuka Alessandro mengkritik sikap rekan seprofesinya dalam kasus Parma.
“Rekan pesepakbola yang benar-benar berbicara dengan saya hanya Morgan De Sanctis. Sementara yang lain hanya menunjukkan solidaritasnya dari jarak jauh tanpa berani menunjukkan aksi nyata,” jelas Lucarelli.
Sikap dan kesetiaan Alessandro Lucarelli tersebut menjadi barang yang langka dalam dunia sepakbola yang kini berorientasi uang dan materi.
Dan sepertinya apa yang dikatakan oleh presiden Sampdoria, Massimo Ferrero, sungguh tepat: “Saya mengucapkan selamat kepada para pemain dan semua orang yang bekerja di Parma. Saya menganggap mereka semua adalah pahlawan.”
Kata-kata dari Ferrero, untuk sebagian, juga bisa dialamatkan kepada Alessandro Lucarelli: seorang pahlawan, bukan hanya untuk Parma, tapi juga pahlawan untuk sepakbola.

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

1 comments:

 

© 2010 Fandypedia. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top