Wednesday 6 April 2016

Mengenang era Keemasan PARMA (LAT)

19:32

Mengenang Parma(lat), Mengingat TanziAFP
Masalah finansial menimpa banyak tim Serie A dalam beberapa tahun terakhir. Namun tak ada yang lebih tragis dengan apa yang terjadi dengan AC Parma --kini FC Parma--, yang sempat menjelma menjadi salah satu klub dengan sederet prestasi.

Meski mengakhiri musim lalu (2013/2014) di posisi enam, Parma harus melewatkan hak tampil di kompetisi Eropa pada musim 2014/2015. Keputusan tersebut didapat Parma setelah Il Crociati terbukti tak membayar pajak dan tak membayar gaji beberapa pemain dan staf.

Bahkan, selain haknya itu dicabut (diberikan pada Torino yang finis di bawah Parma), skuat asuhan Roberto Donadoni tersebut dijatuhi hukuman denda sebesar 5.000 euro. Plus, mereka pun harus memulai musim ini dengan minus satu poin.

Setelah menerima hukuman-hukuman tersebut, masalah Parma belum tuntas sepenuhnya. Bahkan setelah tongkat kepemimpinan klub beralih dari Tommaso Ghirardi ke Ermir Kodra, nasib Parma masih berada di ujung tanduk. Kini mereka berkutat di zona degradasi dan Impian untuk kembali meraih kejayaan seperti satu dekade silam pun perlahan sirna.

Masa Jaya Parma

Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Serie A pada 1990/1991, Parma muncul dengan kekuatan yang mengerikan. Di bawah asuhan pelatih legendaris Italia, Nevio Scala, sejumlah trofi berhasil diraih Parma pada beberapa tahun berikutnya.

Dimulai dari menjuarai Coppa Italia pada 1991/1992, sampai menjuarai Piala UEFA, Super Eropa, dan Piala Winners pada periode 1992 hingga 1995. Di Serie A, mereka pernah menjadi runner-up di musim 1996/1997, hanya kalah 2 poin dari sang juara, Juventus.

Pada masa itu, tak mengherankan memang jika Parma menjelma menjadi salah satu kekuatan baru Serie A. Bagaimana tidak, saat itu Il Gialloblu diperkuat oleh nama-nama seperti Hernan Crespo, Fabio Cannavaro, Dino Baggio, Fernando Couto, Enrico Chiesa, Lilian Thuram, Juan Sebastian Veron, Gianfranco Zola, dan Hristo Stoichkov.



Jika tak ada Parmalat, Parma tak mungkin bisa merekrut pemain-pemain tersebut. Ya, munculnya fenomena Parma pada awal 1990-an ini memang tak lepas dari mengorbitnya perusahaan penghasil susu tersebut.

Memimpin Parmalat sejak tahun 1961 saat usianya masih 22 tahun, Calisto Tanzi berhasil membuat Parmalat menguasai 50% pasar makanan Italia pada 1980 hingga 1990an. Saat itu Parmalat telah dikenal oleh pasar dunia. Perusahaan ini mempekerjakan lebih dari 36 ribu pegawai.

Di tahun 1991 ia memutuskan untuk membeli klub sepakbola lokal, Parma, yang saat itu baru saja ditinggal presiden Ernesto Ceresini yang mati secara tiba-tiba. Tak tanggung-tanggung, 98% saham Parma dibeli oleh Tanzi sebagai bukti passion-nya terhadap sepakbola Italia. Meskipun begitu, Giorgio Pedraneschi, anak Ceresini, masih menguasai memimpin Parma karena memiliki 2% saham.

Saat itu Parma masihlah sebuah klub kecil tanpa prestasi. Meski telah eksis sejak 1913, Parma belum pernah sekalipun tampil di Serie A, kompetisi tertinggi Italia. Parma menghabiskan masa lalunya dengan berlaga di Serie C dan Serie B.

Dengan gelontoran lira dari Tanzi-lah Nevio Scala, pelatih yang mengantarkan Parma promosi ke Serie A, cukup leluasa untuk menghadirkan pemain-pemain bintang dalam skuatnya. Akademi muda pun semakin disempurnakan sehingga Parma bisa menghasilkan pemain seperti Gianluigi Buffon dan Giuseppe Rossi.



Parma pun menggeliat dengan trofi demi trofi yang diraihnya. Dalam waktu yang singkat, 10 tahun sejak promosi, Parma berhasil meraih 3 Coppa Italia, 1 Serie A, 1 Super Coppa, 2 Piala UEFA, 1 Piala Super Eropa, dan 1 Piala Winners: 9 trofi dalam 10 tahun.



Atas raihan ini Italia pun memiliki tujuh klub yang tiap tahunnya bersaing untuk memperebutkan scudetto,trofi juara Serie A. Bersama AC Milan, Inter Milan, Juventus, AS Roma, Lazio, dan Fiorentina, Parma membuat Serie A mengenal istilah Sette Sorele atau Seven Sisters.

Namun pada tahun 2000, Hernan Crespo yang menjadi favorit Parmagiani, sebutan untuk pendukung Parma, dijual ke Lazio dengan nilai transfer 35,5 juta poundsterling. Tahun berikutnya, lulusan akademi terbaik Parma, Gianluigi Buffon, hijrah ke Juventus dengan nilai transfer 32,6 juta pounds, menjadi kiper termahal dunia. Dan pada musim panas tahun 2003, Lilian Thuram mengikuti jejak Buffon dengan bergabung Juventus dengan nilai transfer 41,5 juta pounds. Tahun 2003 adalah tahun pertama Parma finis di luar peringkat enam sejak pertama kali promosi ke Serie A. Dan pada tahun tersebut pula awan kelabu mulai menutupi langit-langit kejayaan Parma.

Kebangkrutan Parmalat, Kemunduran Parma

Pada Desember 2003, terungkap bahwa Parmalat mengalami kesulitan melunasi utang pajak sebesar 150 juta euro. Hal ini membingungkan banyak pihak karena banyak ahli percaya jika Parmalat memiliki tumpukan uang senilai 3,9 miliar euro di akun Bank of America.

Awalnya pihak perusahaan mengatakan bahwa tak ada masalah serius dalam diri Parmalat. Mereka berusaha meyakinkan semua orang dengan mengatakan utang tersebut akan terbayarkan dalam waktu dekat. Namun tak lama kemudian, masih di bulan Desember, perusahaan mengatakan bahwa 3,9 miliar euro tersebut tak pernah ada.




Nyatanya, transfer dari dan ke rekening pada akun Parmalat di Bank of America tersebut semuanya palsu. Selama ini Calisto Tanzi bersama dengan sejumlah keluarga dan eksekutif perusahaan melakukan penipuan dan penggelapan uang menggunakan rekening palsu ini. Untuk memuluskannya, mereka bekerja sama dengan Luca Sala, Kepala Perusahaan Keuangan Bank Of America di Italia.

Diteliti lebih jauh, nyatanya penipuan yang dilakukan Tanzi ini merupakan salah satu penipuan dengan rekening palsu terbesar di Eropa. Karena sebenarnya, utang pinjaman Parmalat terhadap Bank of America adalah 14,3 miliar euro, hampir empat kali lipat dari jumlah utang yang pertama kali terungkap.

Kreditor AS dengan cepat meluncurkan gugatan class action sebesar 10 miliar dolar. Pada Desember 2004, pemerintah Italia harus turun tangan dan untuk mempercepat selesainya kasus ini dengan undang-undang darurat mengenai proses perlindungan gaji, vendor dan kegiatan industri.

Alessandro Bassi, seorang pembantu Fausto Tonna, bunuh diri karena dinyatakan bersalah dalam kasus ini. Fausto Tonna sendiri merupakan direktur keuangan Parmalat selama 16 tahun, yang juga dikenal sebagai tangan kanan Tanzi. Pada 2008, Tonna mendapatkan hukuman 2,5 tahun penjara.

Masalah yang terjadi pada Parmalat tentu saja berpengaruh besar pada Parma yang 98% sahamnya dimiliki Parmalat. Pada tahun 2003 Parma mengumumkan kerugian operasi sebesar 77 juta euro. Mereka pun mulai mencari sponsor baru untuk menutupi hutang ini dan tetap bisa bertahan di Serie A.

Namun tak ada yang tertarik dengan kesebelasan yang berasal dari kota provinsi Parma ini. Keluarga Barilla yang memiliki dana segar yang menjadi target utama manajemen, tak tertatik untuk mengambil alih klub. Pembeli lain pun tak kunjung tiba. Klub pun dinyatakan akan segera pailit.

Untungnya Parma berhasil menemukan celah agar mereka bisa terus bersaing di Serie A. Lepas dari Parmalat, klub mengubah nama mereka dari AC Parma menjadi FC Parma. Perubahan ini ditujukan agar pendapatan televisi dari liga bisa mengalir ke klub. Parma pun masih bisa bernafas di Serie A.

Di tengah situasi klub yang kacau, para pemain sendiri tetap profesional dan fokus di lapangan. Pada musim 2004/2005, musim perdana tanpa Parmalat, di bawah tangan dingin pelatih Silvio Baldini, Parma berhasil melaju hingga babak semi final Piala UEFA..

Di saat yang bersamaan mereka harus tertatih di Serie A. Pada akhir musim Parma dan Bologna memiliki poin sama di papan bawah klasemen sehingga keduanya harus bermain pada laga play-off untuk menentukan siapa yang terdegradasi dari Serie A.

Parma cukup dilematis menghadapi situasi ini. Mereka harus memilih di antara fokus selamat dari degradasi atau mengejar trofi juara di Piala UEFA. Pada akhirnya, Baldini memilih memofkuskan anak asuhnya untuk bertahan di Serie A. Laga melawan CSKA Moskow pun dilepaskan dengan hanya menurunkan pemain cadangan pada leg kedua, leg pertama 0-0. Parma pun dijungkalkan dengan skor 3-0.

Awalnya rencana Baldini ini berjalan tak mulus. Kekalahan di Piala UUEFA diikuti dengan kekalahan Parma dari Bologna pada leg pertama play off dengan skor 1-0. Untungnya pada leg kedua, Alberto Gilardino dan Sebastian Frey bermain gemilang. Parma menang pada leg kedua dengan skor 2-0 meski bermain di kandang Bologna.

Persoalan Kembali Datang

Namun keberhasilan Parma bertahan di Serie A kala itu hanya menunda mereka untuk turun ke Serie B. Karena dua musim berselang, musim 2007/2008, Parma benar-benar harus terdegradasi karena hanya mampu finis di urutan ke-19. Parma pun kembali ke Serie B setelah 18 tahun bertahan di Serie A.

Parma berhasil kembali ke Serie A setelah hanya semusim berlaga di Serie B. Bersama pemilik baru yang membeli Parma pada awal tahun 2007, Tommaso Ghirardi, Parma menjadi juara Serie B dan kembali di Serie A. Hanya saja kini mereka seolah menjadi kesebelasan pelengkap.

Parma mengalami pasang surut setiap musimnya. Terkadang bisa bertahan di papan tengah, di lain kesempatan terseok-seok nyaris terdegradasi. Finis di urutan enam pada musim 2013/2014 adalah prestasi terbaiknya sejak kasus yang menimpa Parmalat.

Namun sayangnya, Parma kembali mendera krisis finansial. Ghirardi dan CEO klub, Pietro Leonardi, pun terkena hukuman 5 ribu euro karena tak sanggup melunasi utang pajak dan gaji pemain beserta stafnya. Mereka pun sempat dilarang aktif dalam sepakbola selama dua bulan. Era baru bersama konglomerat asal Siprus-Rusia pun sepertinya akan dimulai dari Serie B karena terancam degradasi.

Di Tempat lain, orang yang telah membesarkan nama Parma, Calisto Tanzi, kini telah berusia 76 tahun dan menghabiskan waktunya di balik jeruji besi yang terkunci, menjalani masa hukuman 17 tahun penjara. Meski banyak pihak yang membencinya atas apa yang dilakukannya, bagi sebagian pendukung Parma ia tetaplah pahlawan Parma. Ya, berkat perusahaan milik Tanzi, Parmalat, Parma (sempat) dikenal sebagai salah satu klub hebat di Italia.

Banyak orang yang kini hanya mengenal Parma sebagai sepotong kenangan manis dari masa lalu. Bayangkan, kenangan macam apa yang melintas di kepala Tanzi di balik jeruji penjara.

Mengenang era Keemasan PARMA

Mengenang Masa Keemasan ParmaParma tampil istimewa dan berhasil memborong dua piala pada medio 1998-99. (foto: Getty Images)

Kondisi Parma FC saat ini memang semakin mengkhawatirkan. Mengalami kebangkrutan, salah satu tim yang cukup bersejarah di Italia ini nyaris tak bisa melanjutkan sisa musim karena tak ada dana. Bahkan para pemain mereka dikabarkan tak digaji. Itu belum termasuk utang-utang yang dimiliki.
Beruntung Parma kabarnya bisa melanjutkan musim setelah diberikan dana dari pihak Serie A sendiri. Meski begitu, kondisi ini jelas sangat memprihatinkan untuk klub sebesar Parma.
Secara performa Parma sebenarnya tak buruk-buruk amat. Pasalnya, mereka finis di posisi enam klasemen Serie A musim lalu dan harusnya bisa tampil di Europa League. Namun, masalah finansial membuat mereka gagal tampil di Eropa.
Menarik untuk flash back dan mengenang era keemasan tim ini pada medio 1990-an akhir. Saat itu, Parma diisi oleh sangat banyak pemain berkualitas istimewa. Dari penjaga gawang hingga striker, semuanya adalah nama besar sepak bola Eropa.
Performa puncak mereka terjadi pada medio 1995-2000. Saat itu, Parma yang masih bernama AC Parma menjadi salah satu klub terbaik di Serie A. Bahkan mereka nyaris juara pada musim 1996-97. Sayang, Juventus yang berhasil juara pada musim itu dengan poin hanya terpaut dua dari Parma di pos runner-up.
Meski begitu, Parma terbilang menawan di kompetisi lain. Mereka mampu mengangkat dua piala UEFA (1994-95 dan 1998-99), Coppa Italia dan Super Coppa (1998-99).
Musim 1998-99 menjadi musim paling brilian Parma sepanjang era modern. Nama mereka dikumandangkan di Italia dan Eropa. Menjadi tim idola para hipster saat itu.
Mari menilik skuat Parma saat itu yang terbilang sangat istimewa dan menjadi kuda hitam di Italia.
Kiper: Gianluigi Buffon
Sesosok kiper paling istimewa dalam sejarah sepak bola modern. Saat ini, sang pemain masih menjadi andalan Juventus dan timnas Italia. Pemain yang paling banyak bermain di Italia, sembilan kali menjadi kiper terbaik Serie A. Jika bukan karena Parma, karier Buffon mungkin tak akan segemilang saat ini.
Bek Tengah: Lilian Thuram
Menjadi salah satu bek paling legendaris Prancis, performa Thuram menanjak saat masih berkostum Parma. Berhasil menjadi bagian skuat Prancis pada Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000, akhirnya Thuram hijrah ke Juventus pada 2001.
Bek Tengah: Roberto Sensini
Kapten Parma pada periode 1998-99 yang juga menjadi jendral utama lini belakang mereka. Menjadi salah satu yang paling senior saat itu dan bermain sebagai sweeper, Sensini menjadi mentor penting perkembangan karier Thuram dan Cannavaro.
Bek Tengah: Fabio Cannavaro
Sempat dianggap kontroversial karena memakai doping, tapi dia ogah menyerah dan kariernya terus berkembang. Menjadi salah satu bek tengah bertubuh tak besar berkualitas, puncak kariernya terjadi saat memimpin skuat timnas Italia menjuarai Piala Dunia 2006 dan memenangkan Ballon d'Or. Beruntung Parma tak menendangnya saat pelbagai masalah datang.
Wing Back Kanan: Diego Fuser
Salah satu sayap berpengalaman milik Italia saat itu. Gaya bermainnya terbilang sangat tradisional dan memiliki peran penting pada formasi 3-5-2 Parma saat itu. Menjadi salah satu legenda Lazio, kariernya menurun saat memilih bergabung dengan AS Roma.
Wing Back Kiri: Paolo Vanoli
Mungkin namanya tak terlalu besar, tapi dia berhasil mencetak gol penting pada final Coppa Italia pada 1999. Merupakan full-back komplet dan bermain bergantian dengan Antonio Bennarivo.
Gelandang Bertahan: Dino Baggio
Nama Baggio besar karena kerasnya permainan serta kemampuannya melindungi lini belakang. Baggio dianggap sebagai salah satu kunci permainan Parma saat itu. Bahkan seorang fans Wisla Krakow sempat melemparnya dengan pisau untuk mencegah dia bermain.
Gelandang Jangkar: Alain Boghossian
Banyak yang memperkirakan karier pemain ini akan turun saat memilih Parma dari Sampdoria pada 1998. Namun, dia berhasil membuktikan performa dan malah memperlihatkan performa terbaik sepanjang karier saat itu. Dia menjadi bagian skuat Prancis saat juara 1998.
Gelandang Serang: Juan Sebastian Veron
Meski hanya satu musim di Parma, tapi Veron menjadi bagian penting saat tim ini meraih penghargaan istimewa pada musim tersebut. Sang pemain berkhianat ke Lazio semusim berikutnya dan menjadi bintang di sana. Meski begitu, tak akan ada yang melupakan performa klasik Veron sebagai playmaker klasik dengan kostum Parma.
Striker: Enrico Chiesa
Chiesa menjadi salah satu ikon paling ikonik di Parma. Duetnya bersama Hernan Crespo terbilang sangat mengerikan saat itu. Performanya terbilang istimewa dan mencetak gol ketiga Parma pada di Moskow yang sangat indah. Sayangnya dia hanya menjadi supersub di timnas.
Striker: Hernan Crespo
Salah satu striker terbaik Argentina pada medio tersebut. Crespo bahkan menjadi pencetak gol terbanyak sepanjang masa Parma. Lazio dikabarkan mengeluarkan dana hingga 40 juta pounds saat itu, walau pihak klub belum memberitahukannya. Bahkan Crespo memilih pensiun dengan Parma setelah berpetualang dengan pelbagai klub besar.
Masih ada beberapa nama spesial lagi di Parma medio ini. Sebut saja Stefano Fiore, Faustino Asprilla, hingga Abel Balbo. Namun, tanpa pelatih Alberto Malesani, rasanya skuat ini tak akan bisa tampil cukup maksimal saat itu.
Rasanya sangat ironis jika klub ini harus bangkrut dalam waktu dekat. Mudah-mudahan Parma dapat terselamatkan dan kembali mewarnai sepak bola Italia dengan baik dan lancar.

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2010 Fandypedia. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top